Sipirok - Simon Spoor (1902 - 25 Mei 1949) merupakan seorang jenderal Belanda yang terkenal perannya ketika Belanda berusaha merebut kembali Indonesia, dan ia memimpin langsung 2 aksi polisionil Belanda tersebut yaitu Agresi Militer Belanda I dan II.
Jendral Spoor |
Di
tengah-tengah timbul tenggelamnya kasus "rekening gendut" jenderal pada masa itu,
di Sipirok Jenderal Perang Belanda Simon H Spoor tewas ditembak pejuang kita di
tahun 1949. Luar biasa gerilyawan kita mampu membunuh seorang jenderal dengan
persenjataan seadanya. Itu peristiwa bersejarah 23 Mei 1949, suatu prestasi
luar biasa pejuang kita di era itu. Peristiwa ini dijadikan sejumlah tokoh
daerah untuk mengembalikan harkat dan martabat atas pengorbanan para pejuang
bagi negeri ini.
Pada tanggal 23 Mei 1949, para petinggi militer Belanda di Batavia akan datang ke Sumatera Utara (Sumatera Timur dan Tapanuli) untuk mengapresiasi keberhasilan pasukan Belanda selama dua fase agresi di daerah ini. Karena itulah, pasukan Belanda mencoba mengalihkan ke Sipirok untuk membersihkan para laskar rakyat di Sipirok, karena pasukan republik di Benteng Huraba semakin kuat dan sulit dikalahkan.
Di Batavia, Panglima KNIL Letnan Jenderal Spoor (komandan tertinggi militer Belanda di Indonesia) merasa senang atas prestasi pasukan Belanda di Sumatera Utara (Sumatera Timur dan Tapanuli). Berdasarkan laporan yang diterimanya bahwa wilayah Sumatera Utara ketika itu sudah sepenuhnya telah dikuasai pasukan Belanda, maka Jenderal Spoor dengan rombongan ingin memastikan laporan itu dengan menggunakan jalan darat dari daerah pertempuran terakhir di Padang Sidempuan menuju kota Medan (dari selatan ke utara). Jenderal Spoor kemudian berangkat dari Batavia menuju bandara Pinangsori (Sibolga) dan Spoor langsung menuju Padang Sidempuan. Namun setiba di Padang Sidempuan Jenderal Spoor kecewa karena kenyataannya belum sepenuhnya Keresidenan Tapanuli telah dikuasai, bahkan pasukan republik justru telah membangun benteng pertahanan yang kuat di Huta Huraba (jalan lintas Padang Sidempuan menuju Bukittinggi, tempat dimana waktu itu ibukota Republik Indonesia berada).
Pada tanggal 23 Mei 1949,
konvoi yang membawa rombongan Jenderal Spoor tiba-tiba diserang oleh laskar
gerilya yang tergabung dalam AGS (Angkatan Gerilya Sipirok) yang dipimpin Letnan
Sahala Muda Pakpahan. Penyerangan yang telah direncanakan dengan matang
oleh laskar AGS dilaksanakan tepat di jembatan Aek Horsik, Simagomago. suatu
lokasi strategis untuk penyergapan. Dalam pertempuran pencegatan itu, cukup
banyak pasukan Belanda yang tewas termasuk Jenderal Spoor (Simon Hendrik Spoor lahir di Amsterdam, 12 Januari 1902). Namun
setelah itu sempat beredar berita sumir bahwa kematian Jenderal Spoor adalah
akibat serangan jantung. Ini tampaknya digunakan pemerintahan militer Belanda
untuk meredam munculnya euforia kemenangan di kalangan pasukan pribumi. Karena
itu, Panglima tertinggi tentara kerajaan Belanda di Hindia Belanda (1945–1949)
dilaporkan meninggal tanggal 25 Mei 1949 di Batavia dan dimakamkan di pekuburan
Menteng Pulo. Boleh jadi kalangan elit Belanda ketika itu malu seorang jenderal
bisa dibunuh dalam sebuah pertempuran hanya oleh seorang pemuda militan yang
masih berumur 23 tahun yang dijuluki sebagai ‘Jenderal Naga Bonar’ dari
Sipirok.
Tewasnya Jenderal Spoor di Sipirok membuat pasukan Belanda yang ada di
Padang Sidempuan dikerahkan untuk
menghajar pasukan AGS di Sipirok dan ingin menangkap hidup-hidup Letnan
Sahala Muda Pakpahan. Dalam pengejaran ini pasukan Belanda didukung
dengan pesawat capung Belanda
untuk memantau dari udara. Pasukan Belanda tampaknya sudah kalap karena
pasukan
AGS pimpinan Letnan Sahala Muda Pakpahan ini sangat lihai bergerilya.
Tak tahan
dengan permainan Letnan Sahala Muda Pakpagan dengan anggota pasukannya
yang
dibantu oleh rakyat, maka pasukan Belanda mulai menggedor rumah-rumah
rakyat dan
bahkan menembak setiap pria dewasa. Pasukan Belanda menganggap
rakyat
adalah benteng para pasukan republik dan dari rakyat banyak yang ikut
menjadi
penjuang, maka tindakan mereka membunuh rakyat di rumahnya masing-masing
mereka
anggap legal. Inilah yang menyebabkan rakyat Sipirok banyak yang mati
terbunuh
di tangan pasukan Belanda.
Letnan
Sahala Muda Pakpahan, seorang pentolan laskar rakyat yang pemberani
yang masih berumur 23 tahun kelahiaran desa Panggulangan ini akhirnya dapat ditangkap dan ditahan
Belanda. Sahala Muda akhirnya dibantai Belanda dengan sadis tiga bulan setelah tewasnya Spoor yang kini dikubur di pekuburan Belanda di Menteng Pulo Jakarta. Sementara Sahala muda dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sipirok. Cerita beliau sempat difilmkan pada tahun 2008, namun tidak kunjung tayang di layar kaca.
Hingga saat ini, rumah kediaman sang pemberani ini masih berdiri kokoh di kampung halamannya, Namun tak ada sedikitpun perhatian Pemerintah setempat ke kampung halamannya (Desa Panggulangan). Desa beliau sekarang adalah desa tertinggal di Kecamatan Sipirok, sejak 70 tahun lalu (Kemerdekaan Indonesia), Jalan ke Desa ini baru dibangun sekali saja.
Komentar